BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Dilihat dari
perkembangan hidup manusia, terjadinya hukum itu mulai dari pribadi manusia
yang diberi Tuhan akal pikiran dan perilaku. Perilaku yang dilakukan terus
menerus oleh perorangan menimbulkan kebiasaan pribadi. Apabila kebiasaan
pribadi tersebut ditiru orang lain, maka ia akan juga menjadi kebiasaan orang
tersebut. Lambat laun di antara orang yang satu dengan orang yang lain didalam
satu kesatuan masyarakat itu pula melaksanakan kebiasaaan itu. Kemudian apabila
seuruh anggota masyarakat melakukan perilaku kebiasaan tadi, maka lambat laun
kebiasaan tersebut menjadi adat.
Jika kita
mengingat-ingat pelajaran kita yang lalu mengenai hukm adat, maka kita tak
boleh melupakan bahwa bagian-bagian tersebut besar pengaruhnya terhadap hukum
waris adat dan sebaliknya hukum waris pun berdiri sentral dalam hubungan
hukum-hukum adat lainnya, seebab hukum waris meliputi aturan-aturan hukum yang
bertalian dengan proses yang terus menerus merupakan penerusan dan peralihan
kekayaan baik material maupun imaterial dari suatu angkatan ke angkatan
berikutnay. Salah satu hukum waris adat yang bisa kita pelajari adalah hukum
waris adat Bali.
B. RUMUSAN
MASALAH
Adapun rumuasan masalah dari latar belakang diatas,
yaitu:
1. Jelaskan
kedudukan janda sebagai ahli waris dalam sistem pewarisan menurut adat Bali?
2. Jelaskan
kedudukan anak perempuan sebagai ahli waris dalam sistem pewarisan menurut adat
Bali?
C. TUJUAN
Adapun tujuan dari penuliasan makalh ini, yaitu:
1. Untuk
mengetahui kedudukan janda sebagai ahli waris dalam sistem pewarisan menurut
adat Bali.
2. Untuk
mengetahui kedudukan anak perempuan sebagai ahli waris dalam sistem pewarisan
menurut adat Bali.
D. MANFAAT
Manfaat yang bisa kita dapat dari makalah ini,
yaitu:
1. Kita
dapat mengetahui kedudukan janda sebagai ahli waris dalam sistem pewarisan
menurut adat Bali.
2. Kita
dapat mengetahui kedudukan anak perempuan sebagai ahli waris dalam sistem
pewarisan menurut adat Bali.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Hukum adat merupakan
terjemahan dari bahasa Belanda “Adat
Recht” yang dipopoulerkan oleh Prof. Dr.
Cornelius Van Vollenhoven sebagai ilmu pengetahuan sejak 3 Oktober 1901 (Tolib
Setiady, 2008: 4).
Prof. Dr. Christian
Snouck Hurgonje (Abdul Gaffar) menyatakan bahwa hukum adat adalah adat yang
mempunyai sanksi (reaksi), sedangka n adat yang tidak mempunya reaksi adalah
merupakan kebiasaan normatif, yaitu kebiasaan yang berwujud sebagai tingkah
laku yang berlaku didalam masyarakat (Tolib Setiady, 2008: 8).
Hukum adat waris adalah
salah satu aspek hukum dalam lingkup permasalahan hulum adat yang meliputi norma-norma yang
menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun immateriil, yang mana dari
seseorang tertentu dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus
juga mengatur SAAT, CARA dan PROSES peralihannya dari harta yang dimaksud (Tolib
Setiady, 2008: 281).
Hukum waris adat adalah
serangkaian peraturan yang mengatur penerusan dan pengoperan harta peninggalan
atau harta warisan dari suatu generasi ke geberasi lain, baik berupa benda
materiil maupun nonmatetiil (Bushar Muhammad, 1981: 39)
Di Indonesia kita
menjumpai 3 macam sistem kewarisan dalam hukum adat, yaitu:
1.
Sistem kewarisan individual
Cirinya adalah bahwa harta
peninggalan dapatdibagi-bagikan di antar para ahli waris seperti halnya pada
masyarakat bilateral.
2.
Sistem kewarisan kolektif
Cirinya adalah bahwa harta
peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang bersama-sama merupakan
semacam badan hukum, dimana harta tersebut disebut harta pusaka tidak boleh
dibagi-bagikan pemiliknya diantara para ahli waris dimaksud dan hanya boleh
dibagi-bagikan pemakaiannya saja kepada mereka itu (hanya mempunyai hak pakai
saja) seperti di masyrakat matrilineal.
3.
Sistem kewarisan mayorat
Ciri
dari kewarisan mayorat adalah bahwa harta warisan diwariskan keseluruhannya
atau sebagian besar (sejumlah harta pokok dari satu keluarga) oleh seorang anak
saja, seperti halnya di Bali dimana terdapat hak mayorat anak laki-laki yang
tertua dan di Tanah Semendo dimana terdapat hak mayorat anak perempuan tertua
(Tolib Setiady, 2008: 286).
Untuk mendapatkan
kedudukan sebagai ahli waris dalam hukum adat, sebagai seorang janda harus
memenuhi 2 syarat, yaitu:
1.
Janda harus telah lama hidup bersama dan
mengikuti suka duka dalam keluarga.
2.
Janda, sesudah suami meninggal tidak
menunjukkan sikap atau cenderung memutuskan hubungan dengan keluarga suami,
juga tidak segera kawin lagi atau pada umumnya tidak menelantarkan anak-anaknya
(Bushar Muhammad, 1981: 49-50).
Hukum
Waris Adat
Dibagi-bagi Tidak
dibagi-bagi
(Individual) (kolektif)
(Jawa
dan di kota Mayorat Kolektif
Mayorat
laki-laki
|
Mayorat
Perempuan
|
-
Bali
|
-
Semendo
|
-
Lampung
|
- Dayak “Landak”
|
-
Batak
|
-
Dayak “Tayan”
|
-
Toraja Barat
|
-
Minangkabau
|
-
Minahasa
|
-
Ambon
|
-
Cirebon
|
Besar lainnya)
-
Hibah
-
Kedudukan janda
-
Anak angkat
-
Anak tiri
(Bushar Muhammad, 1981: 41)
BAB
III
PEMBAHASAN
A. KEDUDUKAN
JANDA SEBAGAI AHLI WARIS DALAM SISTEM PEWARISAN MENURUT ADAT BALI
Perkembangan awal seorang janda bukan ahli waris, dalam kenyataannya
kemudian janda menjadi menderita sepeninggal suaminya, kemudian timbul praktek
pemberian hibah oleh suami kepada istrinya untuk melindungi dan mempertahankan
kehidupan sosial ekonomi sepeninggal suaminya, praktek demikian semakin lama
semakin melembaga. Perkembangan hukum adat berikutnya adalah, janda sebagai
ahli waris bersama-sama dengan anak-anak almarhum suaminya. Selanjutnya janda
sebagai ahli waris yang kedudukannya sama dengan ahli waris anak. Perkembangan
selanjutnya janda sebagai ahli waris kelompok keutamaan, yang menutup ahli
waris lainnya.
Yurisprudensi Putusan MA No. 387K/Sip/1956 tanggal 29 Okt0ber 1958, Janda
dapat tetap menguasai harta gono gini sampai ia meninggal dunia atau kawin
lagi. Puncaknya adalah Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 3190K/
Pdt/`985, tanggal 26 Oktober 1987, janda memiliki hak waris dari harta
peninggalan suaminya, dan haknya sederajad dengan anak kandungnya, jika tidak
memiliki anak, ia jadi penghalang ahli waris saudara suaminya, terhadap harta
gawan dan harta gono gini.
Dalam hubungan dengan kebiasaan menghibahkan kepada
anak-anak dan janda, patut dicatat bahwa
memang janda didalam hukum adat bukan ahli waris. Justru karena itulah untuk
memberi kepastian bagiannya dan untuk menghindarkan tuntutan atas gugatan
macam-macam di kemudian hari terhadapnya, diadakan cara penghibahan itu.
Kedudukan janda didalam hukum waris adat Bali, adalah dilihat dari sudut
bahwa ia adalah orang luar dari keluarga suaminya. Tetapi sebaliknya satu
kenyataan, bahwa ia adalah seorang istri dan seorang ibu dalam rumah tangga suaminya,
dan turut membinanya dan oleh karenanya ikut memiliki harta benda yang
diperoleh selama perkawinan. Maka didalam urusan kewarisan kedudukan janda
menurut adat Bali, dapatlah disimpulkan bahwa :
1.
janda berhak atas jaminan nafkah seumur hidupnya, baik
dari hasil barang gono-gini maupun dari asal barang asal suami.
2.
Janda berhak menguasai harta peninggalan suaminya,
untuk menarik penghasilan dari barang-barang itu, lebih-lebih jika mempunyai
anak, harta itu tetap merupakan kesatuan dibawah asuhan janda yang tidak
dibagi-bagi.
3.
Janda berhak menahan barang asal suaminya, jikalau dan
sekedar serta selama barang asal itu sungguh-sungguh diperlukan olehnya, untuk
keperluan nafkahnya.
4.
Janda berhak mendapat bagian atau menuntut sebesar
bagian anak didalam keadaan terpaksa diadakan pembagian dengan anak, misalnya
janda kawin lagi, anak minta sebagian untuk modal berusaha dan sebagainya.
B. KEDUDUKAN
ANAK PEREMPUAN SEBAGAI AHLI WARIS DALAM SISTEM PEWARISAN MENURUT ADAT BALI
Berkenaan dengan pembagian warisan
pada adat Bali, Tidak ada satu kesatuan aturan tentang pembagian warisan,
menurut hukum adat Bali. Secara umum, warisan semua dikuasai anak laki-laki
pertama atau terakhir, kemudian dimiliki dengan bukti sertifikat hak milik,
terus dipindah-tangankan sesuka hatinya. Ada juga keluarga yang membagi habis
warisan di antara saudara-saudaranya atau tetap mempertahankannya sebagai milik
bersama (duwe tengah). Umumnya anak perempuan dianggap tidak berhak atas
warisan, entah dia ninggal kedaton atau tidak.
Sedikitnya ada dua hal yang menarik perhatian pemerhati perempuan terkait
kedudukan perempuan Bali-Hindu. Pertama, semangat kerjanya yang hebat. Kedua,
kedudukannya terhadap warisan yang lemah, bahkan dianggap tidak berhak atas warisan,
dalam hal ini warisan yang mempunyai nilai ekonomi, seperti tanah, dan warisan
yang tidak memunyai nilai ekonomi, seperti pemeliharaan tempat suci dan
orangtua.
Soal semangat kerja wanita Bali yang hebat, ada benarnya, tetapi soal
wanita Bali-Hindu yang tidak berhak atas warisan, tidak dapat dikatakan 100%
benar. Menurut hukum adat Bali, bukan hanya perempuan yang dianggap tidak
berhak atas warisan, melainkan mereka yang ninggal kedaton, atau nilar kedaton,
ninggal kapatutan, ngutang kapatutan, ngutang kawitan, ngutang sesana atau
swadharma
Mereka yang
dianggap ninggal kedaton, yaitu :
1.
orang yang tidak lagi memeluk agama Hindu,
2.
dipecat kedudukannya sebagai anak oleh orangtuanya
(pegat mapianak),
3.
meninggalkan rumah atau minggat (ngumbang), tanpa alasan
yang jelas,
4.
perempuan yang kawin biasa,
5.
laki-laki yang kawin nyentana atau kawin nyeburin.
6.
diangkat anak oleh keluarga lain,
7.
secara sukarela melepaskan ikatan kekerabatan dengan
keluarganya serta menyerahkan diri kepada keluarga lain (maiddyang raga).
BAB
IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan dari pembahasan di atas,
yaitu:
1. Dalam
pembagian warisan menurut sistem hukum adat Bali, kedudukan janda sebagai ahli
waris memang tidak jelas. Tapi, setelah suami meninggal janda masih tetap bisa
menikmati harta peninggalan suaminya sampai ia menikah lagi.
2. Mengenai
kedudukan anak perempuan dalam hukum waris adat Bali, anak perempuan ada yang
mendapatkan warisan dan ada juga yang tidak. Pembagiannya tergantung dari
keluarga sendiri. Tapi, pada umumnya anak perempuan tidak berhak atas warisan
dari orang tuanya.
B. SARAN
Dalam menentukan
pembagian warisan menurut sistem hukum adat Bali, seharusnya Ketua Adat Bali
atau yang memiliki kewenangan atas itu menentukan peraturan mengenai pembagian
warisan secara rinci. Hal ini dimaksudkan agar pembagian warisan menurut hukum
adat Bali dapat terlaksana dengan baik dan tidak merugikan siapa pun.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad,
Bushar. 1981. Pokok-Pokok Hukum Adat.
Jakarta: Pradnya Paramita.
Setiady,
Tolib. 2008. Intisari Hukum Adat di
Indonesia. Bandung: Alfabeta.
Winda,
Wayan. 6 Juni 2009. http://www.parisada.org/index.php?option=
com_content&task=view&id=1328&Itemid=79. 12 April 2012.
-------. January
14th, 2011. http://www.unjabisnis.net/kedudukan-anak-perempuan-dalam-hukum-waris-i-hukum-waris.html.
12 April 2012.
-------.27
March 2012.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f6ac3987
ac0e/hak-waris-perempuan-menurut-hukum-adat-bali-. 12
April 2012
apakah benar secara hukum apabila paman saya(kakak alm ayah) mengambil sertifikat sawah warisan dr kakek .tp sdh atas nama alm ayah saya. saya perempuan anak pertama.punya adik perempuan ikut suami muslim.saya beragama hindu(bali).
BalasHapusapakah benar secara hukum apabila paman saya(kakak alm ayah) mengambil sertifikat sawah warisan dr kakek .tp sdh atas nama alm ayah saya. saya perempuan anak pertama.punya adik perempuan ikut suami muslim.saya beragama hindu(bali).
BalasHapus