Powered By Blogger

Kamis, 25 Juli 2013

Hukum Waris


BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Dilihat dari perkembangan hidup manusia, terjadinya hukum itu mulai dari pribadi manusia yang diberi Tuhan akal pikiran dan perilaku. Perilaku yang dilakukan terus menerus oleh perorangan menimbulkan kebiasaan pribadi. Apabila kebiasaan pribadi tersebut ditiru orang lain, maka ia akan juga menjadi kebiasaan orang tersebut. Lambat laun di antara orang yang satu dengan orang yang lain didalam satu kesatuan masyarakat itu pula melaksanakan kebiasaaan itu. Kemudian apabila seuruh anggota masyarakat melakukan perilaku kebiasaan tadi, maka lambat laun kebiasaan tersebut menjadi adat.
Jika kita mengingat-ingat pelajaran kita yang lalu mengenai hukm adat, maka kita tak boleh melupakan bahwa bagian-bagian tersebut besar pengaruhnya terhadap hukum waris adat dan sebaliknya hukum waris pun berdiri sentral dalam hubungan hukum-hukum adat lainnya, seebab hukum waris meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses yang terus menerus merupakan penerusan dan peralihan kekayaan baik material maupun imaterial dari suatu angkatan ke angkatan berikutnay. Salah satu hukum waris adat yang bisa kita pelajari adalah hukum waris adat Bali.


B.       RUMUSAN MASALAH
Adapun rumuasan masalah dari latar belakang diatas, yaitu:
1.      Jelaskan kedudukan janda sebagai ahli waris dalam sistem pewarisan menurut adat Bali?
2.      Jelaskan kedudukan anak perempuan sebagai ahli waris dalam sistem pewarisan menurut adat Bali?

C.       TUJUAN
Adapun tujuan dari penuliasan makalh ini, yaitu:
1.      Untuk mengetahui kedudukan janda sebagai ahli waris dalam sistem pewarisan menurut adat Bali.
2.      Untuk mengetahui kedudukan anak perempuan sebagai ahli waris dalam sistem pewarisan menurut adat Bali.

D.      MANFAAT
Manfaat yang bisa kita dapat dari makalah ini, yaitu:
1.      Kita dapat mengetahui kedudukan janda sebagai ahli waris dalam sistem pewarisan menurut adat Bali.
2.      Kita dapat mengetahui kedudukan anak perempuan sebagai ahli waris dalam sistem pewarisan menurut adat Bali.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Hukum adat merupakan terjemahan dari bahasa Belanda  “Adat Recht”  yang dipopoulerkan oleh Prof. Dr. Cornelius Van Vollenhoven sebagai ilmu pengetahuan sejak 3 Oktober 1901 (Tolib Setiady, 2008: 4).
Prof. Dr. Christian Snouck Hurgonje (Abdul Gaffar) menyatakan bahwa hukum adat adalah adat yang mempunyai sanksi (reaksi), sedangka n adat yang tidak mempunya reaksi adalah merupakan kebiasaan normatif, yaitu kebiasaan yang berwujud sebagai tingkah laku yang berlaku didalam masyarakat (Tolib Setiady, 2008: 8).
Hukum adat waris adalah salah satu aspek hukum dalam lingkup permasalahan hulum  adat yang meliputi norma-norma yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun immateriil, yang mana dari seseorang tertentu dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur SAAT, CARA dan PROSES peralihannya dari harta yang dimaksud (Tolib Setiady, 2008: 281).
Hukum waris adat adalah serangkaian peraturan yang mengatur penerusan dan pengoperan harta peninggalan atau harta warisan dari suatu generasi ke geberasi lain, baik berupa benda materiil maupun nonmatetiil (Bushar Muhammad, 1981: 39)
Di Indonesia kita menjumpai 3 macam sistem kewarisan dalam hukum adat, yaitu:

1.        Sistem kewarisan individual
Cirinya adalah bahwa harta peninggalan dapatdibagi-bagikan di antar para ahli waris seperti halnya pada masyarakat bilateral.
2.        Sistem kewarisan kolektif
Cirinya adalah bahwa harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang bersama-sama merupakan semacam badan hukum, dimana harta tersebut disebut harta pusaka tidak boleh dibagi-bagikan pemiliknya diantara para ahli waris dimaksud dan hanya boleh dibagi-bagikan pemakaiannya saja kepada mereka itu (hanya mempunyai hak pakai saja) seperti di masyrakat matrilineal.
3.        Sistem kewarisan mayorat
Ciri dari kewarisan mayorat adalah bahwa harta warisan diwariskan keseluruhannya atau sebagian besar (sejumlah harta pokok dari satu keluarga) oleh seorang anak saja, seperti halnya di Bali dimana terdapat hak mayorat anak laki-laki yang tertua dan di Tanah Semendo dimana terdapat hak mayorat anak perempuan tertua (Tolib Setiady, 2008: 286).
Untuk mendapatkan kedudukan sebagai ahli waris dalam hukum adat, sebagai seorang janda harus memenuhi 2 syarat, yaitu:
1.        Janda harus telah lama hidup bersama dan mengikuti suka duka dalam keluarga.
2.        Janda, sesudah suami meninggal tidak menunjukkan sikap atau cenderung memutuskan hubungan dengan keluarga suami, juga tidak segera kawin lagi atau pada umumnya tidak menelantarkan anak-anaknya (Bushar Muhammad, 1981: 49-50).
Hukum Waris Adat


 



Dibagi-bagi                                                          Tidak dibagi-bagi
(Individual)                                                                (kolektif)







 

(Jawa dan di kota                                Mayorat                                 Kolektif
Mayorat laki-laki
Mayorat Perempuan
-        Bali
-         Semendo
-        Lampung
-      Dayak “Landak”
-        Batak
-         Dayak “Tayan”

-         Toraja Barat
-        Minangkabau
-        Minahasa
-        Ambon
-        Cirebon
Besar lainnya)                                                
-        Hibah                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
-        Kedudukan janda
-        Anak angkat
-        Anak tiri

(Bushar Muhammad, 1981: 41)








BAB III
PEMBAHASAN

A.      KEDUDUKAN JANDA SEBAGAI AHLI WARIS DALAM SISTEM PEWARISAN MENURUT ADAT BALI
Perkembangan awal seorang janda bukan ahli waris, dalam kenyataannya kemudian janda menjadi menderita sepeninggal suaminya, kemudian timbul praktek pemberian hibah oleh suami kepada istrinya untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan sosial ekonomi sepeninggal suaminya, praktek demikian semakin lama semakin melembaga. Perkembangan hukum adat berikutnya adalah, janda sebagai ahli waris bersama-sama dengan anak-anak almarhum suaminya. Selanjutnya janda sebagai ahli waris yang kedudukannya sama dengan ahli waris anak. Perkembangan selanjutnya janda sebagai ahli waris kelompok keutamaan, yang menutup ahli waris lainnya.
Yurisprudensi Putusan MA No. 387K/Sip/1956 tanggal 29 Okt0ber 1958, Janda dapat tetap menguasai harta gono gini sampai ia meninggal dunia atau kawin lagi. Puncaknya adalah Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 3190K/ Pdt/`985, tanggal 26 Oktober 1987, janda memiliki hak waris dari harta peninggalan suaminya, dan haknya sederajad dengan anak kandungnya, jika tidak memiliki anak, ia jadi penghalang ahli waris saudara suaminya, terhadap harta gawan dan harta gono gini.

Dalam hubungan dengan kebiasaan menghibahkan kepada anak-anak dan janda,  patut dicatat bahwa memang janda didalam hukum adat bukan ahli waris. Justru karena itulah untuk memberi kepastian bagiannya dan untuk menghindarkan tuntutan atas gugatan macam-macam di kemudian hari terhadapnya, diadakan cara penghibahan itu.
Kedudukan janda didalam hukum waris adat Bali, adalah dilihat dari sudut bahwa ia adalah orang luar dari keluarga suaminya. Tetapi sebaliknya satu kenyataan, bahwa ia adalah seorang istri dan seorang ibu dalam rumah tangga suaminya, dan turut membinanya dan oleh karenanya ikut memiliki harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Maka didalam urusan kewarisan kedudukan janda menurut adat Bali, dapatlah disimpulkan bahwa :
1.      janda berhak atas jaminan nafkah seumur hidupnya, baik dari hasil barang gono-gini maupun dari asal barang asal suami.
2.      Janda berhak menguasai harta peninggalan suaminya, untuk menarik penghasilan dari barang-barang itu, lebih-lebih jika mempunyai anak, harta itu tetap merupakan kesatuan dibawah asuhan janda yang tidak dibagi-bagi.
3.      Janda berhak menahan barang asal suaminya, jikalau dan sekedar serta selama barang asal itu sungguh-sungguh diperlukan olehnya, untuk keperluan nafkahnya.
4.      Janda berhak mendapat bagian atau menuntut sebesar bagian anak didalam keadaan terpaksa diadakan pembagian dengan anak, misalnya janda kawin lagi, anak minta sebagian untuk modal berusaha dan sebagainya.

B.       KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN SEBAGAI AHLI WARIS DALAM SISTEM PEWARISAN MENURUT ADAT BALI
Berkenaan dengan pembagian warisan pada adat Bali, Tidak ada satu kesatuan aturan tentang pembagian warisan, menurut hukum adat Bali. Secara umum, warisan semua dikuasai anak laki-laki pertama atau terakhir, kemudian dimiliki dengan bukti sertifikat hak milik, terus dipindah-tangankan sesuka hatinya. Ada juga keluarga yang membagi habis warisan di antara saudara-saudaranya atau tetap mempertahankannya sebagai milik bersama (duwe tengah). Umumnya anak perempuan dianggap tidak berhak atas warisan, entah dia ninggal kedaton atau tidak.
Sedikitnya ada dua hal yang menarik perhatian pemerhati perempuan terkait kedudukan perempuan Bali-Hindu. Pertama, semangat kerjanya yang hebat. Kedua, kedudukannya terhadap warisan yang lemah, bahkan dianggap tidak berhak atas warisan, dalam hal ini warisan yang mempunyai nilai ekonomi, seperti tanah, dan warisan yang tidak memunyai nilai ekonomi, seperti pemeliharaan tempat suci dan orangtua.
Soal semangat kerja wanita Bali yang hebat, ada benarnya, tetapi soal wanita Bali-Hindu yang tidak berhak atas warisan, tidak dapat dikatakan 100% benar. Menurut hukum adat Bali, bukan hanya perempuan yang dianggap tidak berhak atas warisan, melainkan mereka yang ninggal kedaton, atau nilar kedaton, ninggal kapatutan, ngutang kapatutan, ngutang kawitan, ngutang sesana atau swadharma
Mereka yang dianggap ninggal kedaton, yaitu :
1.    orang yang tidak lagi memeluk agama Hindu,
2.    dipecat kedudukannya sebagai anak oleh orangtuanya (pegat mapianak),
3.    meninggalkan rumah atau minggat (ngumbang), tanpa alasan yang jelas,
4.    perempuan yang kawin biasa,
5.    laki-laki yang kawin nyentana atau kawin nyeburin.
6.    diangkat anak oleh keluarga lain,
7.    secara sukarela melepaskan ikatan kekerabatan dengan keluarganya serta menyerahkan diri kepada keluarga lain (maiddyang raga).












BAB IV
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Kesimpulan dari pembahasan di atas, yaitu:
1.      Dalam pembagian warisan menurut sistem hukum adat Bali, kedudukan janda sebagai ahli waris memang tidak jelas. Tapi, setelah suami meninggal janda masih tetap bisa menikmati harta peninggalan suaminya sampai ia menikah lagi.
2.      Mengenai kedudukan anak perempuan dalam hukum waris adat Bali, anak perempuan ada yang mendapatkan warisan dan ada juga yang tidak. Pembagiannya tergantung dari keluarga sendiri. Tapi, pada umumnya anak perempuan tidak berhak atas warisan dari orang tuanya.

B.       SARAN
Dalam menentukan pembagian warisan menurut sistem hukum adat Bali, seharusnya Ketua Adat Bali atau yang memiliki kewenangan atas itu menentukan peraturan mengenai pembagian warisan secara rinci. Hal ini dimaksudkan agar pembagian warisan menurut hukum adat Bali dapat terlaksana dengan baik dan tidak merugikan siapa pun.



DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Bushar. 1981. Pokok-Pokok Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.

Setiady, Tolib. 2008. Intisari Hukum Adat di Indonesia. Bandung: Alfabeta.

Winda, Wayan. 6 Juni 2009. http://www.parisada.org/index.php?option= com_content&task=view&id=1328&Itemid=79. 12 April 2012.




2 komentar:

  1. apakah benar secara hukum apabila paman saya(kakak alm ayah) mengambil sertifikat sawah warisan dr kakek .tp sdh atas nama alm ayah saya. saya perempuan anak pertama.punya adik perempuan ikut suami muslim.saya beragama hindu(bali).

    BalasHapus
  2. apakah benar secara hukum apabila paman saya(kakak alm ayah) mengambil sertifikat sawah warisan dr kakek .tp sdh atas nama alm ayah saya. saya perempuan anak pertama.punya adik perempuan ikut suami muslim.saya beragama hindu(bali).

    BalasHapus